OUR BLOG

Renungan

BERKACA PADA ALAM

Sebagai seorang petualang sejati tentunya kita tak asing lagi dengan yang namanya hutan, gua, tebing bahkan puncak gunung. Sudah berapa banyak puncak Arcapada yang pernah kita pijak? Sudah seberapa jauh perjalanan yang pernah kita tempuh? Semoga sumua itu tidak lantas menjadikan kita sombong akan kehebatan tatkala berhasil menaklukkan alam. Jika kita mau sejenak merenung, sebenarnya kita termat kecil dan lemah. Pernahkah kita mengamati saat melakukan pendakian, ketika sudah ada beberapa teman kita yang mendahului dan kita mengamati mereka dari jarak yang cukup jauh, mereka seolah seperti semut-semut kecil yang berusaha merayapi lereng gunung. Yah seperti itulah kita. Dan bukanlah suatu hal yang sulit ketika Sang Penguasa Alam hendak menyapu “semut-semut kecil” tersebut dengan badai yang siap mengggulung meski hanya dalam hitungan detik. Berapa banyak hal yang bisa kita lakukan waktu itu? Bukan hendak menjadikan hati kita kerdill dan takut, tetapi sudah sepantasnya kita mnyadari bahwa resiko yang akan kita hadapi sebagai seorang MAPALA tidaklah kecil dan remeh. Maut setiap saat mengintai kita, dan kita pun harus SIAP kapanpun dan dalam kondisi apapun.
Namun di sisi lain kita patut berbangga hati, dengan skill dan kemampuan yang kita miliki, kita menjadi orang-orang terpilih yang mendapatkan ”kesempatan lebih”. Yah, kesempatan untuk bisa menikmati dan merenungi akan kebesaran Ilahi atas ciptaan-Nya yang terbentang luas di muka bumi.. Mari kita sejenak merenung, merenungi sebuah perjalanan pendakian yang sering kali kita lakukan. Sebenarnya banyak hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil dari sana, dan hanya bagi orang-orang yang berfikirlah yang bisa menarik pelajaran itu sehingga menjadikannya lebih dekat mengenal Sang Khaliq dengan segala kebesaran-Nya.
Diawal perjalanan, betapa girangnya kita tatkala masih menjumpai aliran sungai dengan gemericik air yang jernih dan segar. Pastinya kita tidak akan melewatkan untuk berhenti sejenak mengisi botol-botol kosong yang kita bawa sebagai bekal perjalanan atau hanya sekedar merasakan kesejukannya saat menyentuh kulit. Dari sini ada satu pelajaran yang seringkali terlupakan, mungkin kebanyakan manusia lupa bahwa air adalah sumber kehidupan, sehingga membuat ”manusia yang tidak bertanggung jawab” dengan bengisnya merusak keseimbangan ekosistem kehidupan. Seandainya mereka sadar bahwa apa yang telah mereka lakukan bukan hanya akan membinasakan dirinya sendiri tapi juga membinasakan berjuta-juta makhluk lainya, bahkan anak cucu dimasa mendatang. Jika kita perhatikan batu-batu yang bertengger di pinggiran sungai, terkadang kuyup oleh beberapa sentuhan genit air-air sungai yang menghampiri walaupun mereka terus berjalan. Namun untuk beberapa lama batu-batu itu mengering oleh sinar mentari yang terus menembus dari celah-celah dedaunan. Silih berganti air dan matahari menyapa bebatuan yang tak pernah bergeser dari tempatya, sebelum perubahan alam atau tangan –tangan manusia yang menghendakinya berpindah. Kemudian jika terlihat satu sisi dari batu itu yang terus menerus lembab, yang kemudian lumut hijau nan cantik menghiasi seluruh sisi permukaan itu, artinya sinar matahari tak pernah singgah di atasnya. Batu, air, sungai, dan sinar matahari adalah cermin keikhlasan. Dan keteguhannya untuk tetap di tempatnya adalah kesabaran. Lumut hijau di sisi batu yang tak pernah tersinari matahari adalah petunjuk arah jalan.
Mendakilah lebih tinggi maka kita akan menjumpai jenis tumbuhan dengan warna daun dan buah yang berbeda. Jalan semakin terjal dan sempit, hanya akar-akar besar dari pohon tua yang terkadang menjadi perantara menuju undakan mencolok dan lebih ekstrim. Sesaat istirahatlah dan perhatikan semuanya. Tumbuhan, daun, buah dengan warna yang lebih mencolok dan lebih khas, mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan Maha Adil dengan menempatkan setiap makhluknya pada keadaan dan tempat dimana ia bisa beradaptasi dan hidup. Satu hal bagi manusia, teruslah bergerak mencari kehidupaan, karena Allah senantiaasa menuntun kita kepada tempat kehidupan terbaik. Namun jika pada akhirnya kita berhenti di satu tempat yang Allah kehendaki setelah semua usaha yang dilakukan, disitulah kita meletakkan prinsip ikhlas menerima dan sabar, serta bersyukur atas ketetapan Allah.
Saatnya senja menyambut hari, sinar merah kekuningan yang menghangatkan masih bisa kita nikmati dari celah-celah ranting dan daun, sesekali ia seperti berkedip dan terus memandangi semua makhluk yang terus bergerak. Seperti mengikuti, matanya terus menatap dan mengawasi sementara sinarnya semakin lama semakin redup digantikan malam. Tinggalah menunggu rembulan kemudian kita terus bergerak, mencari jalan dengan menggunakan mata batin, penerangan hanya alat bantu karena sesungguhnya kita lebih mempercayai mata batin dan kontak yang tak pernah putus dengan mata kaki. Senja hanya sesaat, namun kehadirannya begitu mempesona dan terasa. Semestinya manusia pun seelok, sebermanfaat dan semenyenangkan senja. Karena besok, mungkin tak tersedia lagi waktu untuk melakukan itu.
Dan bila malam tiba, kabut pekat menyambut jarak pandang, sementara angin kebekuan menyelimuti kulit tipis kita yang tak berhenti bergerak. Sejenak berhenti sesungguhnya hanya menambah tebal selimut kebekuan itu walaupun waktu yang sejenak itu untuk sekedar menyeruput air hangat dari vedpless. Tak banyak yang bisa dilakukan, tak banyak pilihan selain trus bergerak ke atas agar lebih cepat mendapati fajar. Ingin mata terpejam sejenak sekedar menghela nafas dan mengaturnya satu persatu agar tak saling menyusul, tapi kehendak kuat yang menggebu untuk segera tiba di puncak seolah-olah tak bisa ditawar lagi. Terkadang sering kita mendapat satu kondisi dimana tak lagi mempunyai pilihan untuk berbuat banyak, namun masih ada satu dalam dada ini yang masih kita percayai karena ia tak pernah berdusta. itulah hati dan nurani. Berhenti bukan jalan yang tepat apalagi kembali kebelakang, padahal jalan tinggal selangkah. Tanyalah pada hati niscaya kebenaran yang kita dapat.
Dan pada akhirnya setelah semua perjuangan, lelah juga peluh yang hampir tak ada bedanya dengan embun di pucuk daun, sebuah tanah mengering pada pijakan terakhir membuat nafas menjaadi lega. Hilang semua lelah, lepas semua keputusasaan yang menghantui selama perjalanan, mentari pagi menyambut kita di puncak perjalanan. Tersenyum adalah kepastian, kepuasan adalah kewajaaran seperti tak ada lagi jarak antara kita dengan Sang Pencipta di puncak ini. Ingin rasanya berteriak meminta kepada-Nya namun di tempat ini, tapi berbisik pun Dia pasti mendengarnya, karena kita begitu dekat. Perjalanan takkan pernah berujung, namun sudah pasti ada masanya kita akan berhenti. Teruslah mendaki agar kita semakin dekat pada-Nya. Teruslah bergerak, namun jika telah sampai puncak keinginan, jangan pernah lupa bahwa kita pernah di bawah, dan suatu saat pasti akan kembali ke bawah. Wa’Allohu ’a’lam bishshowab.(Mimy_chan@brahmahardhika.com dari EM)

BRAHMAHARDHIKA Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Gambar tema oleh merrymoonmary. Diberdayakan oleh Blogger.